Kata "riba" dalam bahasa Indonesia, yang merujuk pada praktik pengambilan bunga dalam transaksi keuangan, berasal dari bahasa Arab, specifically dari kata ุฃูุฒูููุงุฏูุฉ (az-ziyadah). Pemahaman yang mendalam tentang makna az-ziyadah dan konteks penggunaannya krusial untuk memahami esensi larangan riba dalam Islam. Az-ziyadah, secara harfiah, berarti "penambahan" atau "kelebihan." Namun, makna ini jauh lebih kompleks daripada sekadar peningkatan kuantitas. Untuk memahami sepenuhnya, kita perlu menggali lebih dalam berbagai aspek semantik dan konteks historis kata tersebut.
1. Az-Ziyadah: Lebih dari Sekadar Penambahan Kuantitatif
Meskipun terjemahan harfiah az-ziyadah adalah "penambahan," pengertiannya dalam konteks riba melampaui arti matematis sederhana. Ia merujuk pada penambahan yang tidak adil atau tidak proporsional, sebuah kelebihan yang diperoleh tanpa imbalan kerja atau usaha yang sepadan. Ini adalah aspek kunci yang membedakan riba dari transaksi jual beli yang sah. Dalam jual beli yang syariah, penambahan harga mungkin terjadi karena faktor-faktor seperti inflasi, perubahan kondisi pasar, atau peningkatan kualitas barang. Namun, ini adalah penambahan yang justifiable, yang didasarkan pada nilai tambah yang nyata. Riba, sebaliknya, melibatkan penambahan yang bersifat parasit, yang memperoleh keuntungan tanpa kontribusi substansial.
Berbagai rujukan dari kitab-kitab tafsir Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW menjelaskan hal ini. Mereka menekankan bahwa riba bukanlah sekadar peningkatan jumlah uang, melainkan peningkatan yang tidak adil dan eksploitatif. Keadilan dan keseimbangan adalah inti dari transaksi ekonomi dalam ajaran Islam, dan riba secara fundamental melanggar prinsip-prinsip keadilan tersebut. Oleh karena itu, penambahan dalam konteks riba bukan hanya tentang angka, melainkan tentang etika dan moralitas dalam bertransaksi.
2. Konteks Historis Az-Ziyadah dan Riba dalam Perdagangan Jahiliyah
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab Jahiliyah memiliki praktik pinjaman uang yang seringkali disertai dengan penambahan yang sangat tinggi dan eksploitatif. Penambahan ini tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional, tetapi lebih pada kekuasaan dan eksploitasi si pemberi pinjaman terhadap si peminjam yang lemah. Dalam konteks ini, az-ziyadah menjadi simbol ketidakadilan dan penindasan ekonomi. Islam datang untuk memberantas praktik ini dan membangun sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Al-Quran secara tegas melarang riba dalam beberapa ayatnya. Larangan ini bukan hanya untuk melindungi si peminjam, tetapi juga untuk menciptakan sistem ekonomi yang berbasis pada keadilan dan kerja keras, bukan pada eksploitasi dan penindasan. Dengan melarang riba, Islam berupaya untuk menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi yang menguntungkan semua pihak, mencegah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang, dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
3. Perbedaan Az-Ziyadah dalam Konteks Riba dan Transaksi Lain
Penting untuk membedakan penggunaan az-ziyadah dalam konteks riba dengan penggunaannya dalam konteks lain. Dalam transaksi jual beli yang sah, az-ziyadah bisa terjadi sebagai akibat dari negosiasi harga yang wajar, perubahan kondisi pasar, atau peningkatan kualitas barang. Ini adalah penambahan yang proporsional dan justifiable, berbeda dengan penambahan dalam riba yang bersifat eksploitatif dan tidak adil.
Contohnya, jika seseorang membeli tanah dengan harga tertentu, dan kemudian harga tanah tersebut naik karena perkembangan infrastruktur di sekitarnya, maka peningkatan nilai tanah tersebut bukanlah riba. Ini adalah az-ziyadah yang legitimate dan merupakan bagian alami dari dinamika pasar. Namun, jika seseorang meminjam uang dengan janji pengembalian yang melebihi jumlah pinjaman tanpa imbalan kerja atau usaha yang sepadan, maka ini termasuk riba yang dilarang.
4. Implikasi Semantik Az-Ziyadah dalam Hukum Islam
Makna az-ziyadah yang melampaui arti "penambahan" sederhana mempunyai implikasi yang luas dalam hukum Islam. Para ulama telah mengembangkan definisi operasional riba berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan. Mereka telah menetapkan kriteria tertentu untuk membedakan antara transaksi yang sah dan transaksi riba. Kriteria ini seringkali berfokus pada proporsionalitas, keadilan, dan kehadiran nilai tambah yang nyata.
Perbedaan antara riba fadhl (riba barang sejenis) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan waktu pembayaran) juga mencerminkan kompleksitas semantik az-ziyadah. Kedua bentuk riba ini melibatkan penambahan, tetapi konteks dan mekanismenya berbeda. Pemahaman yang mendalam tentang nuansa semantik az-ziyadah sangat penting untuk menginterpretasikan hukum riba secara akurat dan menerapkannya dengan adil.
5. Peran Ulama dalam Menginterpretasi Az-Ziyadah dan Riba
Para ulama Islam berperan penting dalam menginterpretasikan makna az-ziyadah dan menerapkan larangan riba dalam konteks yang beragam. Mereka telah mengembangkan berbagai pendapat dan interpretasi mengenai jenis-jenis transaksi yang termasuk riba dan yang tidak. Perbedaan pendapat ini mencerminkan kompleksitas isu riba dan perlunya pertimbangan yang cermat dan mendalam.
Namun, kesepakatan umum di antara para ulama adalah bahwa riba merupakan praktik yang dilarang karena sifatnya yang tidak adil dan eksploitatif. Mereka menekankan pentingnya mengedepankan keadilan dan keseimbangan dalam semua transaksi ekonomi. Interpretasi az-ziyadah yang bersifat holistik, mempertimbangkan aspek etika dan moralitas, merupakan kunci untuk menghindari riba dan membangun sistem ekonomi Islam yang adil dan berkelanjutan.
6. Relevansi Az-Ziyadah dalam Konteks Ekonomi Modern
Meskipun kata az-ziyadah berasal dari konteks ekonomi tradisional, maknanya tetap relevan dalam konteks ekonomi modern. Banyak produk dan layanan keuangan modern yang dapat dianggap sebagai riba jika melibatkan penambahan yang tidak adil atau eksploitatif. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang makna az-ziyadah dan prinsip-prinsip riba dalam Islam sangat penting untuk mengembangkan produk dan layanan keuangan yang syariah compliant. Ini memerlukan analisis yang cermat dan komprehensif terhadap mekanisme transaksi untuk memastikan kehadiran nilai tambah yang sejati dan keadilan bagi semua pihak. Perkembangan ekonomi Islam modern terus berupaya untuk menemukan alternatif yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan menghindari riba dalam berbagai bentuknya, dengan mempertimbangkan makna yang mendalam dari az-ziyadah.