Riba, dalam konteks Islam, merupakan sebuah larangan yang tegas. Pemahaman yang mendalam tentang riba, khususnya asal-usul kata dan implikasinya, sangat penting untuk memahami esensi larangan tersebut. Artikel ini akan membahas secara detail asal-usul kata "riba" yang berasal dari kata "ziyadah," yang artinya "tambahan" atau "peningkatan," dan mengkaji implikasinya dalam hukum Islam, serta perbedaan pandangan ulama terkait.
1. Ziyadah: Akar Semantik Riba dan Konteks Bahasa Arab
Kata "riba" dalam bahasa Arab, menurut banyak sumber referensi, berasal dari akar kata ra-ba-ba (ุฑูุจูุง) yang berkaitan erat dengan kata ziyadah (ุฒูุงุฏุฉ) yang berarti "peningkatan," "tambahan," atau "kelebihan." Arti ini menjadi kunci untuk memahami esensi riba sebagai sesuatu yang bertambah secara tidak sah atau tidak melalui jalan yang dibenarkan syariat Islam. Tidak hanya itu, akar kata ini juga memiliki konotasi pertumbuhan yang tidak terkontrol, bahkan sampai bisa diartikan sebagai "membengkak" atau "menumpuk" (secara negatif).
Konteks penggunaan ziyadah dalam al-Quran dan hadits lebih menegaskan pengertian ini. Dalam konteks riba, ziyadah tidak hanya merujuk pada tambahan jumlah uang secara matematis, tetapi juga menunjuk pada tambahan yang diperoleh secara tidak adil atau dengan cara yang merugikan pihak lain. Hal ini menggarisbawahi bahwa riba bukan semata-mata transaksi keuangan, tetapi juga masalah keadilan dan etika dalam berinteraksi sosial dan ekonomi. Banyak tafsir mengkaitkan larangan riba dengan usaha untuk mencegah eksploitasi dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Berbagai kamus bahasa Arab klasik, seperti Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzur, dan al-Muhith karya Firuzabadi, mendukung penelusuran etimologi ini. Mereka menjelaskan bahwa kata "riba" berkaitan dengan pertumbuhan yang tidak wajar, tambahan yang tidak adil, dan peningkatan yang tidak proporsional. Oleh karena itu, pemahaman riba tidak dapat dilepaskan dari akar katanya yang menekankan aspek ketidakadilan dan eksploitasi.
2. Perbedaan Riba dalam Perspektif Bahasa dan Hukum
Meskipun akar kata "riba" menunjukkan "peningkatan" atau "tambahan," pemahamannya dalam hukum Islam jauh lebih kompleks daripada sekadar peningkatan angka. Hukum Islam membedakan antara berbagai jenis transaksi keuangan, dan tidak semua transaksi yang melibatkan "peningkatan" dianggap sebagai riba.
Penting untuk membedakan antara "ziyadah" dalam konteks bahasa dengan "riba" dalam konteks hukum Islam. "Ziyadah" sebagai "peningkatan" dapat terjadi dalam berbagai konteks, misalnya dalam bisnis yang sah dan memperoleh keuntungan melalui usaha yang halal. Keuntungan ini merupakan "ziyadah" yang dibolehkan. Namun, riba merupakan "ziyadah" yang spesifik, terlarang karena diperoleh melalui mekanisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan etika Islam.
Oleh karena itu, pemahaman holistik tentang riba memerlukan pengkajian mendalam bukan hanya dari sisi bahasa, tetapi juga dari perspektif hukum Islam yang merujuk pada Al-Quran, Sunnah, dan ijma’ ulama. Hukum Islam mengatur secara detail jenis-jenis transaksi yang dikategorikan sebagai riba dan menjelaskan sanksi bagi pelakunya.
3. Riba Jahiliyyah dan Riba dalam Islam
Sebelum Islam datang, praktik riba sudah lazim di kalangan masyarakat Jahiliyyah. Riba pada masa itu berupa peningkatan jumlah yang sangat besar dan tidak terukur, dilakukan tanpa memperhatikan aspek keadilan dan keseimbangan. Islam kemudian hadir untuk membenahi sistem keuangan yang rusak ini dengan melarang praktik riba yang eksploitatif dan merugikan.
Larangan riba dalam Islam tercantum dalam berbagai ayat Al-Quran, seperti Surat Al-Baqarah ayat 275-278, yang secara tegas mengharamkan riba dan mengancam pelakunya dengan siksa Allah. Hadits Nabi Muhammad SAW juga banyak menjelaskan berbagai bentuk riba dan menekankan betapa buruknya dampaknya bagi individu dan masyarakat.
Perbedaan riba Jahiliyyah dengan riba dalam Islam terletak pada kontrol dan regulasinya. Riba Jahiliyyah bersifat liar dan tanpa batasan, sedangkan Islam memberikan batasan dan pedoman yang jelas tentang transaksi keuangan yang halal dan haram.
4. Jenis-jenis Riba dan Perspektif Ulama
Ulama fiqh Islam telah mengklasifikasikan riba ke dalam beberapa jenis, diantaranya riba al-fadhl (riba dalam jual beli barang sejenis), riba al-nasi’ah (riba dalam transaksi hutang piutang dengan tambahan), dan riba al-yadd (riba dalam transaksi tunai yang melibatkan perbedaan harga yang tidak wajar). Perbedaan pendapat di antara ulama terutama muncul dalam menentukan batasan dan kriteria masing-masing jenis riba. Sebagian ulama memiliki pandangan yang lebih ketat, sementara yang lain lebih longgar. Perbedaan ini biasanya muncul dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang berkaitan dengan riba.
5. Implikasi Ekonomi dan Sosial Larangan Riba
Larangan riba memiliki implikasi yang luas, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi, larangan riba mendorong terciptanya sistem keuangan Islam yang lebih adil dan berkelanjutan. Sistem ini menekankan pada prinsip bagi hasil (profit sharing), investasi langsung, dan menghindari spekulasi. Meskipun implementasinya memiliki tantangan, sistem ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Dari sisi sosial, larangan riba bertujuan untuk membangun masyarakat yang adil dan berakhlak mulia. Riba dianggap sebagai sumber ketidakadilan, eksploitasi, dan kesenjangan sosial. Dengan melarang riba, Islam ingin menciptakan sistem ekonomi yang mendukung kemakmuran bersama dan mengurangi kesenjangan antar anggota masyarakat.
6. Riba dan Perkembangan Ekonomi Islam Kontemporer
Dalam konteks perkembangan ekonomi Islam kontemporer, upaya untuk menciptakan produk dan instrumen keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah terus berkembang. Lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah dan perusahaan investasi syariah, terus berinovasi untuk menyediakan produk dan jasa keuangan yang bebas dari unsur riba. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menghadapi kompleksitas pasar keuangan global dan persaingan dengan lembaga keuangan konvensional. Pengembangan produk dan instrumen keuangan syariah memerlukan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip syariah, termasuk pemahaman yang benar tentang larangan riba dan konsep-konsep alternatifnya. Oleh karena itu, riset dan pengembangan terus dilakukan untuk menciptakan sistem keuangan Islam yang lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan zaman.